Masuk angin adalah istilah yang sangat familiar di telinga masyarakat Indonesia. Istilah ini bahkan begitu lekat dalam kehidupan sehari-hari, menjadi “diagnosis” populer ketika seseorang merasa tidak enak badan, meriang, pegal-pegal, hingga tubuh lemas. Tapi, apakah “masuk angin” benar-benar ada dalam dunia medis? Atau ini hanyalah bagian dari budaya lokal? Menjawab pertanyaan ini, seorang guru besar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) membedah fenomena masuk angin dari dua sisi: medis dan budaya. Artikel ini akan mengupas secara mendalam berdasarkan pandangan ilmiah dan realitas sosial yang terjadi di masyarakat.
Apa Itu Masuk Angin Menurut Masyarakat Indonesia?
Secara umum, masyarakat Indonesia percaya bahwa masuk angin disebabkan oleh “angin” yang masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit saat cuaca dingin atau kondisi tubuh lelah. Gejala yang biasanya muncul meliputi perut kembung, mual, pusing, tidak bertenaga, hingga pegal-pegal. Tak jarang, orang mengobatinya dengan kerokan, minum jamu, atau mengonsumsi obat warung.
Namun hingga kini, dunia medis tidak mengakui istilah “masuk angin” sebagai diagnosis resmi. Dalam jurnal-jurnal internasional maupun ICD (International Classification of Diseases), tidak ditemukan terminologi resmi untuk masuk angin. Lalu, mengapa fenomena ini tetap hidup di tengah masyarakat?
Pandangan Guru Besar UGM: Masuk Angin sebagai Konstruksi Budaya
Prof. dr. Eddy Rahardjo, SpPD-KGEH, seorang guru besar dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, menyatakan bahwa masuk angin sebenarnya merupakan bentuk adagium kultural—cara masyarakat mengartikan kondisi tubuh yang sedang tidak stabil.
“Istilah ‘masuk angin’ itu bukan medis, tapi sangat kuat secara budaya. Ini bukan penyakit, tetapi ekspresi perasaan tidak enak badan,” ujar Prof. Eddy dalam seminar Kesehatan Tradisional UGM tahun lalu.
Menurut beliau, masuk angin bisa mencakup berbagai keluhan medis ringan yang sebenarnya memiliki diagnosis spesifik, seperti:
- Dispepsia atau gangguan lambung
- Myalgia atau nyeri otot
- Sindrom kelelahan
- Dysautonomia ringan karena stres atau tidak cukup tidur
Dengan kata lain, masuk angin itu lebih kepada bentuk pemahaman lokal terhadap gejala medis ringan. Kultur ini sudah begitu mengakar, sehingga menjadi bahasa sehari-hari untuk mengatakan tubuh sedang tidak fit.
Kerokan, Jamu, dan Ritual Penyembuhan: Simbol, Terapi atau Placebo?
Salah satu cara yang paling populer dalam mengobati masuk angin adalah kerokan, yaitu menggosok bagian punggung dengan koin dan minyak hingga muncul garis-garis merah. Berdasarkan jurnal dari Indonesian Journal of Traditional Medicine (2022), kerokan dipercaya dapat melepaskan angin jahat dan merangsang sistem saraf untuk mempercepat aliran darah.
Namun, bagaimana pandangan medis? Studi dari RSUP Dr. Sardjito pada 2021 menunjukkan bahwa efek kerokan lebih kepada efek placebo dan stimulus simpatis berupa sensasi nyaman dan rileks. Namun, terlalu sering melakukan kerokan juga bisa rentan menimbulkan iritasi kulit atau efusi subkutan.
Berikut data menarik tentang prevalensi metode penyembuhan masuk angin berdasarkan survei Health Behavior UGM (2023):
Metode | Persentase Pengguna | Efektivitas (Subjektif) |
---|---|---|
Kerokan | 72% | Relatif efektif |
Minum jamu | 53% | Membantu menghangatkan |
Obat warung (OTC) | 41% | Cepat meredakan gejala |
Kompres atau istirahat | 28% | Sangat membantu proses pemulihan |
Jelas bahwa masyarakat kita sudah percaya bahwa metode-metode tersebut memang bisa menyembuhkan, setidaknya secara subyektif dan emosional. Efek psikologis kenyamanan memang berperan besar dalam pemulihan kondisi ringan seperti flu atau kelelahan.
Masuk Angin Dari Sudut Pandang Ilmiah: Diagnosis Alternatif
Menurut beberapa dokter klinis, gejala yang disebut masuk angin dalam masyarakat Indonesia sebenarnya dapat mencerminkan diagnosis medis ringan berikut:
- Influenza, yang ditandai dengan demam, nyeri otot, dan lemas
- Common cold atau batuk-pilek biasa
- Dispepsia fungsional karena stres atau pola makan tidak baik
- Kurang tidur dan kelelahan kronis
Dr. Mariana Adityasari, SpPD dari RS UGM menjelaskan: “Kondisi yang disebut masuk angin bisa sangat luas. Tetapi semuanya bisa dijelaskan dengan ilmu medis jika dikaji lebih dalam.”
Data dari WHO mencatat bahwa lebih dari 30% pasien di negara berkembang mengunjungi fasilitas kesehatan untuk keluhan ringan yang sebenarnya bisa sembuh sendiri, termasuk gejala “masuk angin”. Ini menguatkan bahwa banyak penyebabnya bersifat nonspecific dan self-limiting.
Cara Terbaik Mengatasi Masuk Angin dengan Pendekatan Ilmiah dan Kultural
Untuk mengatasi gejala “masuk angin”, pendekatan terbaik adalah kombinasi antara pemahaman medis dan kenyamanan budaya. Berikut solusi yang bisa kamu praktikkan:
- Istirahat cukup: Tubuh butuh pemulihan alami. Jangan paksakan aktivitas berlebihan.
- Hidrasi dan konsumsi makanan bergizi: Air putih, sup hangat dan buah jadi teman terbaik saat merasa tidak enak badan.
- Kerokan (jika membantu secara psikologis): Lakukan dengan hati-hati, jangan terlalu sering dan gunakan minyak antiseptik.
- Gunakan obat warung sesuai gejala: Paracetamol untuk meriang, antasida untuk kembung, atau vitamin C untuk daya tahan.
- Periksa ke dokter jika tidak membaik 2-3 hari: Ini penting untuk menghindari diagnosa yang lebih serius.
FAQ: Pertanyaan Umum Seputar Masuk Angin
1. Apakah masuk angin itu benar-benar ada?
Secara medis istilah ini tidak berstandar internasional, tetapi secara budaya dan empirik, gejalanya nyata dan bisa dikenali masyarakat.
2. Apakah kerokan itu berbahaya?
Tidak selama dilakukan dengan bersih dan wajar. Namun kerokan terlalu sering dapat menyebabkan kerusakan kulit atau peningkatan risiko infeksi minor.
3. Apakah bisa sembuh tanpa obat?
Ya. Banyak kasus masuk angin sembuh hanya dengan tidur cukup, minum air hangat, dan makan yang bergizi. Tubuh kita mampu sembuh sendiri selama daya tahan tubuh kuat.
4. Benarkah minum jamu bisa mengobati masuk angin?
Beberapa jenis jamu memiliki efek hangat dan stimulasi imun yang membantu pemulihan, namun hasilnya sangat subjektif dan tergantung respons individu.
5. Haruskah ke dokter jika masuk angin?
Jika gejala bertahan lebih dari 3 hari atau disertai demam tinggi, mual parah, muntah terus menerus, sebaiknya periksa ke dokter karena bisa jadi itu indikasi penyakit lain yang lebih serius.
Kesimpulan
Masuk angin adalah fenomena yang unik di budaya Indonesia. Walau tidak ada pengakuan resmi di dunia medis untuk istilah ini, gejala-gejala yang diasosiasikan dengannya sangat nyata dan bisa dijelaskan lewat ilmu kesehatan. Guru besar UGM menyatakan dengan jelas bahwa ini adalah ekspresi budaya tentang kondisi tubuh yang lemah, bukan penyakit spesifik.
Dalam menghadapi gejala ini, pendekatan terbaik adalah tidak mengabaikannya, tetapi juga tidak panik. Kombinasikan penyembuhan alami seperti kerokan atau minum jamu dengan pendekatan medis modern sesuai kebutuhan. Yang terpenting adalah mengenal sinyal tubuh sendiri dan tahu kapan harus beristirahat atau periksa ke dokter.
Mari kita hargai pendekatan budaya ini sebagai warisan yang memperlihatkan kecerdasan lokal dalam membaca tubuh. Namun kita juga tidak boleh menutup mata terhadap pendekatan ilmiah yang lebih presisi dalam mendiagnosis dan menanggulangi gejala.
Setelah membaca artikel ini, coba introspeksi: Apakah kamu pernah mengalami masuk angin? Apa yang kamu lakukan waktu itu? Yuk tulis pengalamanmu di kolom komentar dan bagikan ke teman, siapa tahu bisa bantu mereka juga!
Ingat, menjaga kesehatan dimulai dari memahami tubuh kita. Jangan tunggu sakit untuk mulai peduli!
Sumber:
- UGM – https://fk.ugm.ac.id
- WHO – https://www.who.int
- Indonesian Journal of Traditional Medicine – https://ejurnal.mikrobiologi.or.id
- Kemenkes RI – https://www.kemkes.go.id